Minggu, 05 Oktober 2008

Cerpen:Di telefon Umum

Aku ingin menelfon Mamah. Aku tidak akan bekerja malam ini. Badanku terlalu lelah untuk menerima serangan beruntun. Serangan pertamaku tadi adalah aku harus ikut bimbingan belajar persiapan SPMB. Serangan kedua adalah pekerjaan paruh waktuku sebagai pembersih sebuah toko buku di Jalan Braga. Aku ingin menelfon mamah dan bilang, “Mamaaaaah…Aku tak kuat two hit combo, satu pun aku sudah takluk.” Meski itu berarti besok kami sekeluarga tidak makan.
Telefon umum yang selalu menjadi andalanku dalam rangka komunikasi jarak jauh itu sedang digemari oleh tiga orang di depanku. Mereka mengantri bersamaku. Oh..Tuhan, di depanku pencopet yang pernah menyopet orang di depan mataku dan waktu itu aku diam saja. Tampaknya kali ini dia bersiap beraksi lagi dengan mangsa seorang perempuan. Perempuan yang menurut gossip berhutang pada rentenir sebesar 160 juta rupiah. Tersirat di mukanya angka 160 juta.
Pencopet itu akan merampok orang yang punya cukup motif untuk merampok. Aduuh..Apa aku akan diam lagi? Apa aku akan membiarkan orang yang uangnya minus 160 juta kehilangan sisa receh di dompetnya? Saat aku bimbang dan saat pencopet bersiap mengulurkan tangannya, orang satu lagi yang sedang asyik menelpon tiba-tiba mengeraskan suaranya. Tampak berbicara penuh emosi dengan lawan bicaranya di seberang telepon sana.
“Jangan, bodoh!! Kamu mau dilaknat Tuhan? Demi uang segitu kamu bisa beli apa? Tapi dengan dosa itu kamu cukup pantas dibakar api neraka.
Dia terdiam sejenak seperti mendengarkan sesuatu dari lawan bicaranya. Sedangkan pencopet tersentak seperti merasa perkataan tadi untuk dirinya.
“Aku tahu kamu sedang susah, semua susah, kambing juga susah tapi kalo kamu nekat, di akhirat kamu lebih susah lagi.”
Kali ini sang pencopet benar-benar kaget. Dia tarik tangannya dari niatan mencopet. Tubuhnya bergetar hebat. Ketakutan. Cukup dengan mendengar pembicaraan seorang lelaki yang entah sedang menelpon siapa. Perlahan dia menarik diri dari antrian. Pergi. Berjalan, lalu berlari, sangat kencang.
Kini tinggal kami bertiga. Satu sedang menelpon, dua mengantri. Satu memikirkan hutangnya. Satu memikirkan lelahnya. Satu lagi entah memikirkan apa. Tapi aku cukup bahagia. Pencopetan terhenti tanpa aku harus menghentikannya. Perempuan di depanku tampak sangat tidak bahagia. Matanya sembab seperti sudah ditinggal mati sepuluh orang.
“Bunuh diri? Gila kamu ya. Gak nyelesain masalah tauk. Siksa kubur menantimu. Tadi mau ngerampok sekarang bunuh diri. Otak kamu harus turun mesin.”
Perempuan di depanku tersentak seperti pencopet tadi. Kepalanya yang dari tadi merunduk langsung menatap heran lelaki yang sedari tadi membelakangi kami khusyuk menelepon. Khusyuk pula memarahi orang di seberang telepon. Dia menghela nafas berat. Pergi dengan langkah gontai. Tampaknya dia baru saja mengurungkan penyelesaian masalahnya. Bunuh diri. Aku memang sok tahu.
Aku semakin heran dengan orang yang kini ada di depanku. Sebenarnya dia itu apa? Tampaknya dia sang inspirator sejati. Mampu menginspirasi banyak orang. Apa aku akan terinspirasi juga.
Ternyata tidak. Dia pergi begitu saja sambil sempat tersenyum tipis padaku. Melangkah pergi jauh. Biarlah, sekarang aku harus kembali ke duniaku. Menelepon mamah. Kurogoh sakuku. Dua keeping seratusan. Satu untuk menelepon mamah. Satu menit cukup. Satu lagi untuk beli gula aren di warung Mang Ojih. Agar aku kuat jalan jauh menuju rumahku.
Kuangkat gagang telepon. Hei, telepon ini rusak. Kemarin masih bener kok. Terus lelaki tadi ngomong sama siapa? Teleponnya memble begini. Tiba- tiba lelaki itu datang lewat sampingku sambil tertidur menghadapku. Sambil dibugkus kain putih. Sambil tersenyum menyeringai. Sambil digotong orang di atas keranda mayat.
Aku kaget bukan main. Ingin teriak bukan main. Tidak mampu teriak bukan main. Langsung lari demikian kencangnya bukan main. Berlari dengan debar jantung yang baru. Dengan semangat baru. Tidak butuh gula aren untuk tenaga lariku ini. Aku pergi untuk bekerja. Siap menerima Two Hit Combo.

Tidak ada komentar: