Jumat, 23 Maret 2012

Pelajaran dari Novel Pukat



Setelah membaca novel Pukat karya Tere Liye., saya seperti menemukan kembali ruh kezuhudan. Novel itu bercerita tentang kehidupan desa di Sumatra yang sejahtera dan baik-baik saja. Maksud kata baik-baik saja adalah hidup mereka tiada kurang suatu apapun dan tetap dapat bahagia. Mungkin tidak ada jaringan listrik, jaringan telepon ataupun internet. Mungkin kalau makan bermodalkan ladang kampung dan sungai provinsi, tapi sekali lagi hidup mereka baik-baik saja.

Bagi keidupan mereka, teknologi, dan peradaban maju lainnya bukanlah hal terpenting. Hal terpenting adalah budi pekerti luhur dan kedekatan dengan Allah. Yang penting bagi mereka adalah belajar mengaji setiap sore dan kejujuran yang dijaga. TV, internet dan teknologi lainnya itu semua nanti dulu.

Novel ini seperti menyadarkan saya. Novel ini memaksa saya bertanya kembali, apa pentingnya modernisasi dan perluasan teknologi yang selama ini digembar gemborkan? Mungkin yang masyarakat butuhkan pertama kali bukanlah microsofoft word dan kecanggihan teknologi lainnya. Mungkin masyarakat memang butuh Al Qur’an dan Hadits, itu saja. Teknologi dan kemajuan itu bisa menyusul belakangan. Barangkali kementerian daerah tertinggal itu seharusnya mengembangkan nilai agama di pelosok desa itu. Karena yang mereka butuhkan pertama kali memang adalah agama. Sekali lagi teknologi bisa menyusul. Dari novel pukat saya membaca bahwa dengan agama, namun miskin teknologi, hidup tetap bisa bahagia.

Mungkin ini kesalahan yang kita lakukan. Kita memiliki semangat kemajuan tapi kita belum paham apa definisi kemajuan. Karena yang kita lihat adalah TV, TV mengatakan bahwa kemajuan itu adalah handphone bagus, laptop canggih, dan mobil mewah. Novel pukat mengajarkan bahwa kemajuan yang hakiki adalah nilai hidup yang terpatri dalam jiwa anak manusia. Kita bisa lihat kini bagaimana anak-anak SD mahir internetan namun ba bi bu bila diminta baca Quran. Kita bisa melihat bagaimana mereka hapal lagu “asmara cengeng mau bunuh diri” namun diminta sebutkan nama 4 khalifah saja repot. Kita bisa melihat bagaimana mereka hapal link situs porno dan akhlak yang benar-benar rusak. Inikah kemajuan yang kita idam-idamkan.

Saya sebagai mahasiswa akhirnya menyadari, bahwa kemajuan itu bisa diibaratkan sebuah kapal. Namun nahkoda yang memimpin kapal tersebut adalah sarjana-sarjana universitas islam. Pemimpin kapal itu adalah lulusan Jurusan Tarbiyah, Syariah, dakwah. Sedangkan saya, insinyur industri dan kawan-kawan lain yang merupakan sarjana teknik berada di belakang, menunggu kerja dari nahkoda selesai. Kita boleh berbicara pembangkit listrik piko hidro, AMDAL, carnot, kesetimbangan kimia, jaringan internet, supply chain management setelah kinerja sarjana Tarbiyah tuntas atau dalam kadar yang cukup; setelah membuat jiwa-jiwa masyarakat sholeh dan sholehah.
Saya sebagai kakak akhirnya menyadari, yang adik-adik saya butuhkan bukanlah berkuliah di ITB, UNPAD atau UPI. Yang mereka butuhkan pertama kali adalah kenal pada Tuhannya, paham siapa nabinya, dan Ngerti baca Kitabnya. Kelak mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang paripurna. Setelah itu baru mari majukan teknologi.

Tentang Ekonomi

Dari Novel tersebut pun saya belajar arti sebenarnya ekonomi. Arti dari kesejahteraan bukanlah mempunyai harta yang berlimpah. Arti dari sejahtera adalah bekerja dengan cukup dan mendapatkan penghasilan yang cukup. Cukup untuk apa? Cukup untuk beribadah kepada Allah. Novel tersebut menggambarkan bagaimana dengan keterbatasan yang ada, keluarga Pukat masih bisa bahagia. Maka mari redam sejenak segala semangat untuk semua orang berlimpah dalam segi harta. Berlimpah itu adalah kewajiban segelintir orang. Karena hukum Allah membuat tidak mungkin semua orang kaya raya. Pasti ada yang kaya dan ada yang miskin. Tugas ekonomi adalah membuat yang miskin itu tidak ada dengan cara mengalirkan uang orang kaya kepada orang miskin.

Bila memang kita menyadari bahwa kita mempunya bakat dan amanah untuk berlimpah hartanya, maka berlimpahlah. Tapi kalaupun tidak berlimpah, ya tidak apa-apa. Namun sungguh menjadi orang punya banyak harta dan lalu menyedekahkan hartanya, itu sungguh baik. Kita sedang butuh banyak pejuang dalam sector financial ini.

Saat kita berbicara dengan masayarakat umumnya, mungkin target kita bukanlah membuat mereka berlimpah hartanya. Target kita adalah membuat penghidupan mereka cukup. Tapi itu semua tentu setelah aspek agama yang terpenuhi dengan cukup terlebih dahulu.