Kamis, 03 Februari 2011

Ukuran Kinerja Kemenpora yang Berpihak Pada Rakyat

Perumahan rakyat adalah suatu kementerian yang dibawahi Oleh Bapak suharso Monoarfa. Kementerian tersebut bagi saya memiliki tolok ukur kerja yang perlu dibuat lebih baik. Ketika ditanya apakah indikator keberhasilan dari kementerian perumahan rakyat, jawabannya adalah jumlah rumah yang berhasil di bangun. Banyaknya rumah yang berhasil di bangun tidak menjadi jadi jaminan bahwa rakyat akan sejahtera. Saat kesejahteraan rakyat adalah menjadi tanggung jawab pemerintah, maka dipertanyakan apakah pemerintah benar-benar berusaha menyejahterakan rakyat bila indikator kerjanya saja lemah seperti itu.

Dalam sistem manajemen kinerja yang dipelajari oleh mahasiswa teknik Industri, terdapat suatu alat untuk mengukur kinerja jabatan atau pegawai. Alat ukur tersebut bernama KPI atau key performance indicator. Kita sering menyebut KPI ini sebagai parameter keberhasilan. Seperti namanya, KPI adalah suatu variabel kunci yang berfungsi mendeteksi apakah suatu pejabat bekerja dengan benar atau tidak. Misalkan wali kelas enam sekolah dasar. KPI dari wali kelas tersebut adalah total siswa yang naik kelas. Wali kelas akan diukur kinerjanya baik atau tidak berdasarkan jumlah siswa yang naik kelas. Reward and Punishment pun diterapkan berdasarkan nilai dari variabel tersebut. Penerapan KPI membuat suatu penilaian menjadi adil. KPI pun membantu pejabat untuk memilah pekerjaan yang utama karena sejalan dengan tujuan organisasi atau malah harus dihilangkan karena pemborosan dan merugikan organisasi. Misal untuk wali kelas, dia akan menghindari mengurangi acara wisata kelas, dan mengutamakan program belajar tambahan serta konseling.Hal tersebut dikarenakan wisata tidak menunjang peningkatan prosentase kenaikan kelas sedangkan konseling menunjang jumlah kenaikan kelas.

KPI yang lemah akan melemahkan kinerja. Ketika KPI yang ditetapkan tidak tepat dan tidak sejalan dengan misi organisasi, maka segala turunannya yaitu Reward and Punishment serta pemilahan kerja prioritas maupun tidak prioritas menjadi kabur.

Secara jelas bahwa tugas pemerintah adalah mengelola segala sumber daya untuk kemasalahatan rakyat. Tugas tersebut dibebankan kepada pemerintah karena akan boros bila tiap masyarakat mnegerjakan sendiri-sendiri. Pemerintah seakan-akan diamanahi untuk mengurusi keperluan rakyat yang memang keperluan tersebut akan lebih efisien bila diadakan secara kolektif oleh pemerintah, misalnya mengurusi tata letak kota ataupun menyiapkan komplek perumahan. Penyiapan perumahan tersebut adalah hal yang vital dikarenakan menyangkut kebutuhan primer manusia diantara sandang, pangan, papan. Penyiapan tata letak kota dan perumahan tersebut akan boros bila dilakukan oleh orang per orang, sehingga kebutuhan tersebut dipenuhi oleh pemerintah. Boros dikarenakan setiap orang artinya perlu mendalami ilmu perencanaan wilayah dan kota, serta harus melakukan survey lapangan, dan seterusnya. Segala tugas tersebut, penyiapan rumah, didelegasikan kepada Kemenpera khususnya agar rakyat terpenuhi hak dasarnya yaitu memiliki tempat tinggal yang layak.

Pemaparan Menpera memberi kesan bahwa tanggung jawab kemenpera hanyalah menyediakan rumah. Sedangkan rakyat mendiami rumah yang layak atau tidak, bukan menjadi tanggung jawab Kemenpera. Bila kinerja Kemenpera adalah jumlah rumah yang dibangun, maka sungguh mungkin Indonesia sudah kebanyakan rumah. Betapa banyak villa di puncak saja yang tanpa penghuni. Sedangkan kita masih melihat bahwa di suatu sungai di Jakarta saja berdiam 200.000 jiwa dengan rumah yang tidak layak. Namun apa di kata, di akhir periode, meskipun semua rakyat Indonesia tinggal di kolong jembatan, Kemenpera tidak akan kena cekal, dikarenakan mereka telah “berhasil” membangun rumah meski rumah itu dihuni oleh cecak dan serangga lainnya.

Alangkah baiknya bila kemenpera mengubah KPI-nya menjadi jumlah rakyat yang masih belum memiliki rumah yang layak. Sehingga kemenpera bekerja keras untuk membuat rakyat memiliki rumah yang layak. Kemenpera pun akan lebih kreatif dalam mencapai target kerjanya. Membuat rumah menjadi layak bukanlah sekedar pekerjaan tukang bangunan dan kontraktor. Membuat rumah layak diawali dengan pencerdasan bangsa bahwa rumah yang layak itu memenuhi faktor A,B,C,D dan seterusnya. Maka rakyat diharapkan akan secara mandiri membuat rumahnya layak. Bila misalkan 100 rakyat telah sadar untuk memiliki rumah yang layak, lalu mereka mengajukan proposal kepada Kemenpera untuk dibuatkan suatu rumah susun di tempat yang sesuai, saat itu lah peran Kemenpera untuk membangun rumah. Hal tersebut dikarenakan telah terasa permintaan dari masyarakat. Dengan adanya permintaan tersebut akan terhindar kejadian yang terjadi di Papua di mana masyarakat malah menghindari rumah yang sudah dibuat dan memilih tinggal di rumah tradisional.

Alangkah baiknya bila kemenpera memiliki agen rumah layak di tiap kelurahan atau desa. Tugas agen tersebut adalah memastikan bahwa seluruh masyarakat yang ada di keluarahan tempat dia bertugas:
1.Mengetahui standar rumah yang layak seperti apa
2.Memiliki motivasi untuk mendapatkan rumah yang layak
3.Mampu mengusahakan rumahnya menjadi layak
4.Bila tidak mampu maka tugasnya bersama instansi daerah setempat untuk menyiapkan rumah yang layak, dengan cara apapun

KPI dari agen rumah layak tersebut adalah jumlah rakyat yang tidak memiliki rumah yang layak. Semakin pesat pertumbuhan rakyat berumah layak di daerahnya, gajinya akan semakin tinggi, pun berlaku sebaliknya. Dengan penerapan KPI tersebut diharapkan terbentuk budaya kerja keras di kalangan kemenpera sehingga tidak ada lagi satu pun manusia bernyawa di Indoensia yang tidak memiliki rumah yang layak.

Tidak ada komentar: